Uncategorized

PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 279 KUHP‎‎ DALAM SENGKETA PERKAWINAN TERCATAT VS PERNIKAHAN SIRI‎

Pasal 279 KUHP sudah berusia lebih dari satu abad. Namun sampai hari ini, pasal yang seharusnya menjadi benteng perlindungan terhadap istri sah justru menjadi pasal yang paling membingungkan aparat penegak hukum. Ketika pembentuk KUHP memasukkan rumusan “mengadakan perkawinan padahal mengetahui masih terikat perkawinan yang menjadi penghalang sah”, mereka tentu tidak membayangkan kompleksitas perkawinan modern di Indonesia ; terutama fenomena kawin siri.

‎Di lapangan, begitu banyak kasus yang berhenti di meja penyidik hanya karena perkawinan kedua dilakukan secara siri. Argumen mereka sering terdengar seragam: “Kalau tidak dicatat, berarti ‘perkawinan’ itu tidak ada secara hukum. Bagaimana mungkin menjerat perbuatan yang dianggap tidak ada?”
‎Inilah problem terbesar penerapan Pasal 279: kesalahpahaman terhadap Pasal 2 UU Perkawinan.

‎Salah Tafsir di Hulu: “Tidak Dicatat” Bukan Berarti “Tidak Ada”

‎Sebagian aparat menggabungkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan seolah keduanya adalah syarat sah ibadah. Padahal tidak demikian. Pasal 2 ayat (1) mengatur keabsahan menurut agama, sedangkan ayat (2) adalah kewajiban pencatatan administratif. Menganggap tidak dicatat = tidak sah = tidak pernah ada, adalah penyederhanaan yang keliru secara akademik dan bertentangan dengan praktik peradilan agama.

‎Jika negara benar-benar menganggap perkawinan siri tidak ada, pertanyaannya sederhana: mengapa ada lembaga isbat nikah?
‎Lembaga ini sendiri mengakui eksistensi perkawinan yang dilakukan secara agama, hanya saja belum dituangkan dalam catatan negara. Artinya, perkawinan siri adalah fakta hukum, meski tidak seluruh akibat hukum langsung muncul.

‎Pasal 279 Tidak Bicara “Sah” atau “Tidak Sah” Tapi Ia Bicara “Perbuatan”

‎Kesalahan berikutnya adalah menganggap bahwa Pasal 279 hanya berlaku apabila perkawinan kedua sah secara administrasi. Ini tidak pernah menjadi syarat delik. Rumusan Pasal 279 tidak menuntut legalitas administratif perkawinan kedua. Yang dilindungi oleh pasal ini adalah perkawinan pertama yang sah, bukan status administratif perkawinan kedua.

‎Perbuatan mengadakan perkawinan baik siri maupun tercatat tetap dianggap tindakan yang “melanggar penghalang sah” ketika seseorang masih memiliki istri atau suami yang sah.

‎Yurisprudensi Justru Menguatkan Pola Ini

‎Ironisnya, beberapa akademisi yang menolak penerapan Pasal 279 terhadap kawin siri justru mengutip putusan pengadilan yang memidana pelaku poligami dengan Pasal 279 dalam konteks kawin siri.
‎Dua di antaranya:

‎Putusan PN Maros No. 35/Pid.B/2012/PN.MRS

‎Putusan PN Pasaman Barat No. 23/Pid.B/2019/PN.Psb

‎Kedua putusan tersebut menyatakan bahwa unsur Pasal 279 KUHP terpenuhi meskipun perkawinan keduanya dilakukan secara siri. Akademisi boleh berpendapat apa saja, tetapi hukum positif di Indonesia bergerak berdasarkan putusan pengadilan, bukan preferensi teoretis.

‎Ketidakkonsistenan Aparat: Sumber Kekacauan di Hilir

‎Penyidik dan jaksa di beberapa daerah masih ragu, bahkan enggan, memproses perkara Pasal 279. Ada yang menyederhanakannya menjadi zina. Ada yang bersembunyi di balik argumen “rumah tangga tidak usah dibawa ke ranah pidana”. Padahal ketika korban adalah istri sah yang ditinggalkan begitu saja dan bahkan seringkali tanpa nafkah, tanpa perlindungan, dan tanpa kepastian, proses pidana adalah bagian dari due process of law yang wajib diberikan negara.

‎Ketidakseragaman ini berbahaya. Selain menciptakan ketidakpastian hukum, ia berpotensi menjadi pintu diskriminasi terhadap perempuan yang ingin mencari keadilan.

‎Penutup: Pasal 279 Bukan Pasal Mati ; Ia Hanya Sering Disalahpahami

‎Saat negara mengakui perkawinan sebagai institusi yang dilindungi, maka pelanggaran terhadapnya wajib diproses. Kawin siri yang dilakukan oleh seseorang yang masih terikat perkawinan syah tetap memenuhi unsur Pasal 279.
‎Pertanyaannya bukan lagi “bolehkah pasal ini dipakai?”, melainkan:
‎“Mampukah aparat penegak hukum memahami dan menegakkan Pasal 279 secara benar?”

‎Selama kebingungan tafsir terus dipertahankan, korban akan terus dirugikan dan hukum kehilangan fungsinya sebagai pelindung.

Oleh:
Deny Mucharam, S.H., LLM.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *