Uncategorized

Perkembangan Kebijakan Hukum Telematika dalam Menanggulangi Kejahatan Siber di Indonesia : Tantangan dan Solusi

ABSTRAK

Kemajuan teknologi telematika telah memberikan pengaruh yang sangat besar di

banyak bidang, menghasilkan ekonomi digital baru sekaligus menimbulkan masalah hukum.

Kejahatan siber, termasuk peretasan data, penipuan internet, dan serangan siber, merupakan

bahaya besar yang menuntut peningkatan regulasi. UU ITE di Indonesia sebagian besar sudah

terkendali, namun penerapannya masih diperdebatkan. Solusi yang dapat dilakukan antara lain

dengan memperbarui peraturan agar sesuai dengan kemajuan teknologi dan memperkuat

penegakan hukum. Penelitian ini menerapkan pendekatan yuridis normatif yang dipadukan

dengan metode perundang-undangan, konseptual, dan studi kasus. Data dikumpulkan melalui

studi literatur. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yang

menggabungkan informasi dari peraturan, karya ilmiah, dan undang-undang untuk

memperoleh kesimpulan yang jelas. Kebijakan hukum telematika berkembang sebagai

respons terhadap kemajuan teknologi. Setiap negara memiliki kebijakan hukum yang unik.

Kebijakan ini sangat penting untuk menangani masalah privasi dan keamanan teknologi. Solusi

yang ditawarkan meliputi peraturan baru, penegakan hukum yang lebih tegas, edukasi publik,

dan kolaborasi dengan platform internet. Cyberbullying, kebocoran data, dan peretasan saluran

YouTube adalah masalah besar. Solusi yang dapat dilakukan antara lain peraturan yang lebih

jelas, penegakan hukum yang lebih baik, edukasi publik, kolaborasi antar pihak, dan perangkat

penyelesaian sengketa secara online. kebocoran data dapat diatasi dengan revisi peraturan ITE,

penegakan hukum yang kuat, edukasi publik, dan keamanan data yang lebih baik. Strategi

komprehensif yang mencakup pemilik saluran, platform, dan penegakan hukum adalah solusi

untuk peretasan saluran YouTube Kebijakan hukum telematika menghadapi hambatan dalam

memerangi kejahatan dunia maya. Solusi yang ditawarkan meliputi reformasi regulasi,

peningkatan penegakan hukum, edukasi publik, dan kerja sama lintas pihak. Peretasan,

kebocoran data, dan cyberbullying membutuhkan penanganan khusus. Solusinya antara lain

dengan merevisi UU ITE, memberikan edukasi hukum digital, berkolaborasi dengan platform

lain, dan memperbarui keamanan akun. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk

memastikan lingkungan digital yang aman.

Kata kunci : Kebijakan Hukum Telematika, Kejahatan Siber, Revisi Undang-Undang

ABSTRACT

The advancement of telematics technology has had a huge influence on many areas,

resulting in a new digital economy while also posing legal issues. Cybercrime, including data

hacking, internet fraud, and cyberattacks, is a severe danger that demands increased

regulation. Indonesia’s ITE Law has been largely controlled, but its application remains

contentious. Solutions include updating rules to reflect technology advancements and

strengthening law enforcement. The research employs a normative juridical technique in

conjunction with legislative, conceptual, and case methods. Data collecting involves

conducting literature study. Data analysis is a qualitative descriptive approach, incorporating

information from rules, scientific papers, and laws to get a clear conclusion. Telematics legal

policy is evolving in response to technology advancements. Each country has its unique legal

policies. This policy is critical for dealing with technological privacy and security concerns.

Solutions include new regulations, more law enforcement, public education, and collaboration

with internet platforms. Cyberbullying, data leaking, and YouTube channel hacking are big

concerns. Solutions include clearer regulations, enhanced law enforcement, public education,

party collaboration, and online dispute settlement tools.Data leaking may be addressed by

revised ITE regulations, vigorous law enforcement, public education, and better data security.

A comprehensive strategy that includes channel owners, platforms, and law enforcement is the

solution to YouTube channel hacking.Telematics law policy confronts obstacles in combating

cybercrime. Solutions include regulatory reform, increased law enforcement, public education,

and cross-party cooperation. Hacking, data leaks, and cyberbullying require specific

management. Solutions include revising the ITE Law, providing digital legal education,

collaborating with other platforms, and updating account security. Cross-sector collaboration

is critical for ensuring a safe digital environment.

Key words : Telematics Legal Policy, Cybercrime, Legislative Revision

Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama dalam bidang telematika,

telah memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia.

Telekomunikasi dan internet kini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan

sehari-hari masyarakat. Di Indonesia, kemajuan telematika telah membuka peluang baru di

bidang ekonomi digital, komunikasi, dan akses informasi. Perkembangan teknologi ini

memang membawa banyak manfaat, namun di sisi lain juga memunculkan dampak negatif.

Salah satu dampak yang paling mencolok adalah meningkatnya kejahatan dunia maya, yang

dapat menimbulkan risiko signifikan bagi individu maupun organisasi. Kejahatan siber

seperti peretasan data pribadi, penipuan online, serta penyebaran malware dapat merusak

privasi, kepercayaan, dan keamanan pengguna teknologi. Ancaman ini semakin kompleks

dengan terus berkembangnya teknik-teknik serangan digital, yang membuat perlindungan

terhadap sistem informasi dan data semakin sulit dilakukan. Tidak hanya memberikan

dampak negatif pada individu, tetapi juga memiliki konsekuensi serius bagi perusahaan,

lembaga pemerintah, bahkan keamanan nasional. Bagi individu, kejahatan siber dapat

mengancam privasi dan menyebabkan kerugian finansial, sementara bagi perusahaan,

serangan siber dapat merusak reputasi, mencuri data sensitif, atau mengganggu operasional

bisnis. Di tingkat pemerintah, ancaman ini bisa mengganggu layanan publik, merusak sistem

administratif, atau bahkan menciptakan kerentanan dalam kebijakan keamanan negara. Di

tingkat yang lebih luas, serangan siber dapat mengancam stabilitas dan kedaulatan negara,

dengan potensi untuk memicu konflik internasional atau mengganggu pertahanan nasional.

Sangat penting untuk menyadari bahwa telematika mencakup berbagai teknologi informasi

dan komunikasi, termasuk komputer, ponsel pintar, internet, dan jaringan komunikasi

lainnya. Semua faktor ini memungkinkan orang atau organisasi untuk terlibat dalam tindakan

yang melanggar hukum termasuk serangan ransomware, penipuan online, pencurian data, dan

kejahatan dunia maya lainnya. Untuk mengatasi masalah ini dalam situasi seperti ini,

diperlukan sudut pandang hukum yang menyeluruh. Ketika kerangka hukum yang mengatur

aktivitas online semakin mendasar, hukum telematika menjadi semakin penting.

Kejahatan yang berhubungan dengan teknologi merupakan masalah yang serius.

Menurut aturan hukum internasional, kejahatan dunia maya dapat diklasifikasikan sebagai

kejahatan internasional jika melibatkan tindakan yang secara serius membahayakan legitimasi

beberapa atau semua negara, sehingga membahayakan hubungan di dalam komunitas

internasional. Menurut data tahun 2004, Indonesia memiliki kasus kejahatan siber terbanyak di

antara negara-negara lain. Mayoritas informasi yang dikumpulkan oleh Kepolisian Republik

Indonesia berasal dari laporan korban, meskipun faktanya hanya sedikit kasus yang diproses

secara hukum dan banyak kasus yang tidak dilaporkan (dark number). Masyarakat kehilangan

4 miliar rupiah pada tahun 2011 sebagai akibat dari kejahatan dunia maya, dan jumlah tersebut

meningkat menjadi 5 miliar rupiah pada tahun 2012. Indonesia berada di posisi kedua di antara

lima negara teratas yang paling sering menjadi sumber serangan kejahatan siber pada tahun

2013, menurut State of the Internet. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus

Bareskrim Polri, sebanyak 36,6 juta serangan kejahatan siber telah terjadi di Indonesia selama

tiga tahun terakhir.

Mengingat pentingnya peran internet dalam menciptakan masyarakat yang berbudaya

informasi, sangat penting bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengambil

tindakan yang signifikan dalam memerangi kejahatan siber. Dalam hal hukum di Indonesia,

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat digunakan dalam

menyelesaikan masalah kejahatan siber. UU ITE berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan

dengan keamanan telematika dan penindakan pelanggaran yang melibatkan penggunaan

teknologi informasi. Implementasi UU ITE tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan beberapa

ketentuannya yang kontroversial telah memicu diskusi di masyarakat. Dalam konteks ini, kami

dapat membuat dua isu yang akan dibahas secara khusus:

 1. Mengingat betapa cepatnya perkembangan telematika saat ini, apa saja batasan-batasan hukum telematika?

 2. Bagaimana berbagai jenis kejahatan siber dapat ditangani dengan tetap memperhatikan batasan-batasan hukum yang digariskan dalam UU ITE?

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga metodologi utama, yaitu Pendekatan

Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach),

dan Pendekatan Kasus (Case Approach), sebagai bagian dari prosedur penelitian yuridis

normatif. Hukum yang dipahami sebagai apa yang tertera dalam peraturan perundangundangan

(law in books) atau hukum yang dipahami sebagai kaidah atau norma yang menjadi

patokan berperilaku manusia yang dapat diterima merupakan dasar dari penelitian hukum

yuridis semacam ini. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

peraturan perundang-undangan terkait menjadi sumber hukum utama dalam penelitian ini.

Makalah, buku, jurnal, dan sumber lain yang relevan digunakan sebagai sumber hukum

sekunder. Selain itu, penulis juga menggunakan bahan hukum tersier, seperti kamus hukum,

informasi dari internet dan media sosial, serta sumber lainnya yang berkaitan dengan topik

hukum yang dibahas. Penelitian ini mengikuti standar yang ditetapkan dalam undang-undang.

PEMBAHASAN

Hambatan Kebijakan Hukum Untuk Telematika Dalam Menghadapi Kemajuan

Teknologi Yang Semakin Meningkat Saat Ini

Tujuan dari kebijakan hukum, yang merupakan seni dan ilmu pengetahuan, adalah

untuk memfasilitasi pembuatan peraturan hukum yang lebih konstruktif. Perundang-undangan

hukum pidana adalah definisi peraturan hukum positif dalam konteks ini. Pada intinya,

kebijakan hukum ini adalah upaya untuk menerapkan peraturan perundang-undangan yang

sesuai dengan masa kini pada suatu saat tertentu (ius constitutum) dan masa yang akan datang

(ius constituendum). Kesimpulan yang wajar adalah bahwa, dalam arti yang terbatas, kebijakan

hukum sama dengan reformasi hukum. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa, sebagai sebuah

sistem, hukum terdiri dari tiga komponen: substansi (substantif), struktur (struktural), dan

budaya. Setiap negara di dunia memiliki sistem hukumnya sendiri, yang mungkin berbeda

dengan hukum negara lain. Kebijakan hukum, juga disebut sebagai tatanan hukum, adalah

seperangkat peraturan dan praktik suatu negara. Hukum positif, juga dikenal sebagai Ius

Constituendum, atau hukum yang dicita-citakan, atau hukum yang belum menghasilkan

konsekuensi hukum, adalah aturan hukum atau tatanan hukum yang berlaku pada waktu

tertentu di wilayah negara tertentu. Hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah hukum

yang disusun berdasarkan hal ini. Karena hukum berlaku, siapa pun yang melanggar

ketentuannya akan menghadapi konsekuensi dari lembaga atau badan yang telah diberi izin

untuk melakukannya.

Hukum memiliki beberapa tujuan, termasuk mengatur masyarakat, menegakkan

masyarakat, menyelesaikan perselisihan, dan menghidupkan kembali atau memulihkan

masyarakat. Sebagai penjaga kebijakan hukum, pemerintah dapat menggunakan fungsi-fungsi

hukum ini untuk memanfaatkan teknologi yang aman dan kontemporer. Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah salah satu contoh

spesifik bagaimana undang-undang telematika dikembangkan. Karena Indonesia baru

memiliki kebijakan hukum khusus mengenai masalah kejahatan siber pada tahun 2008, maka

aturan pemidanaan pelaku kejahatan siber dengan perangkat peraturan khusus berupa undangundang

siber (UU ITE) merupakan hal yang baru, meskipun masalah kejahatan dalam hukum

telematika, dan lebih khusus lagi mengenai kejahatan siber, bukanlah hal yang baru di

Indonesia. Masalah kriminalisasi muncul karena beberapa perilaku memiliki arti baru di mata

masyarakat, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan apakah perilaku tersebut dapat

dihukum. Kesan yang muncul adalah adanya kekosongan hukum, yang pada akhirnya

mendorong penuntutan terhadap perilaku tertentu. Hal ini mendukung klaim von Savigny

bahwa hukum berubah, berkembang, dan meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat.

Cyberbullying, pelanggaran data, dan peretasan saluran YouTube adalah beberapa contoh

kejahatan siber yang sekarang terjadi.

A) Cyber Bullying

Cyberbullying didefinisikan sebagai perundungan yang dilakukan dengan

memanfaatkan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform obrolan,

platform permainan, dan telepon seluler. Menurut Think Before Text, cyberbullying

adalah aktivitas permusuhan dan disengaja yang dilakukan oleh suatu kelompok atau

individu dengan memanfaatkan media elektronik, sering kali dalam jangka waktu

tertentu, terhadap seseorang yang dianggap sulit untuk dilawan. Jadi, ada kesenjangan

kekuatan antara penyerang dan korban. Dalam situasi ini, istilah “perbedaan kekuatan”

berhubungan dengan pengertian kemampuan fisik dan mental. Cyberbullying

didefinisikan sebagai aktivitas terus-menerus yang dirancang untuk mengintimidasi,

membuat marah, atau mempermalukan individu yang menjadi sasaran. Perundungan,

baik secara langsung maupun tatap muka, dan cyberbullying sering kali terlihat

bersamaan. Namun, cyberbullying meninggalkan jejak digital dalam bentuk rekaman

atau catatan, yang mungkin berharga dan menjadi bukti ketika mencoba menghentikan

aktivitas berbahaya ini. Undang-undang yang mengatur cyberbullying di Indonesia

adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE). Lebih lanjut, Pasal 45 ayat (5) UU ITE secara tegas menyebutkan

bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.”

Pelaku tindak pidana perundungan siber tetap menghadapi konsekuensi pidana, yang

mana didasarkan pada pengaduan yang disampaikan oleh korban.

B) Kebocoran Data / Pembobolan Data

Kebocoran data merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada

pengunggahan data pribadi yang sensitif secara berlebihan ke internet. Biasanya,

pengguna yang melakukan hal tersebut kerap mengabaikan dampak yang dapat

ditimbulkan. Kebocoran data juga bisa disebut dengan data leak, yaitu risiko yang kerap

terjadi pada perusahaan yang memiliki data penting atau rahasia. Risiko ini mengintai

perusahaan karena adanya peluang bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk

mengakses dan memanipulasi data tersebut. Ada 6 penyebab paling umum terjadinya

kebocoran data, antara lain kesalahan konfigurasi perangkat lunak, penipuan melalui

rekayasa sosial, kata sandi yang digunakan berulang kali, pencurian barang yang berisi

data sensitif, kerentanan perangkat lunak, dan penggunaan kata sandi bawaan. Mengapa

kebocoran data terus terjadi di Indonesia? Mungkin, penyebabnya adalah karena

regulasi yang lemah, dan rendahnya kesadaran akan keamanan siber yang tidak hanya

terjadi di tingkat masyarakat, tetapi juga terlihat di lembaga atau instansi. Kebocoran

data ternyata memiliki arti yang berbeda dengan pelanggaran data. Jika pelanggaran

data merupakan serangan yang sengaja dilakukan untuk membobol suatu sistem agar

data sensitif dapat diakses, berbeda dengan kebocoran data yang tidak memerlukan

serangan siber khusus. Sebab, pada umumnya kebocoran data dapat terjadi akibat

keamanan data yang kurang baik atau karena kelalaian pengguna sendiri. Pelanggaran

data ini termasuk dalam tindak pidana penyalahgunaan data pribadi sebagaimana

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE pasal 26 ayat 1:

“Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang mengenai data pribadi

seseorang harus dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan.” Aturan ini

tercantum dalam PP Nomor 82 Tahun 2012 dan PP Nomor 71 Tahun 2019.

C) Peretasan Channel Youtube

Peretasan kanal YouTube adalah tindakan untuk menguasai kanal YouTube

tanpa izin pemiliknya. Motif peretasan bisa beragam, mulai dari mengejar ketenaran,

tujuan politik, atau keuntungan finansial. Peretasan dapat memengaruhi pemilik kanal

dengan memodifikasi materi, menayangkan konten yang tidak diinginkan, atau

menghapus konten asli. Untuk menjaga keamanan akun digital, organisasi atau

korporasi harus membuat SOP yang ketat untuk memelihara akun digital, serta bekerja

sama dengan penyedia layanan untuk memulihkan akun yang disusupi. Misalnya, kanal

YouTube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diretas baik untuk

mendapatkan popularitas maupun atas perintah pihak lain. Kanal YouTube DPR RI juga

diretas untuk streaming konten perjudian daring. Kanal YouTube Ganjar Pranowo juga

diretas, dan menghilang. YouTube meluncurkan investigasi dan mengambil langkahlangkah

untuk menjaga keamanan akun yang disusupi. Direktorat Tindak Pidana Siber

Bareskrim Polri sedang menyelidiki peretasan akun YouTube DPR-RI.

Dalam mengelola akun digital, organisasi atau perusahaan disarankan untuk:

1. Tetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat.

2. Bekerja sama dengan penyedia layanan untuk memulihkan akun yang diretas.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, organisasi atau perusahaan dapat

melindungi akun digitalnya dari peretasan.

Peretasan merupakan tindakan kejahatan baru dibandingkan tingkat kejahatan

konvensional lainnya. Dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat kejahatan hukum

bagi pelaku peretasan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja

dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik

milik orang lain dengan cara apapun”. Selain itu, terdapat ancaman pidana atas

pelanggaran tersebut seperti yang tertua dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) UU

19/2016. Tapi perlu diperhatikan, hukuman paling berat penjara delapan tahun dan

denda Rp800.000.000. Tak hanya itu, UU 19/2016 juga mengatur pemberatan hukuman

atas tindakan peretasan.

Solusi Kendala-Kendala Yuridis Yang Terdapat Dalam Undang-Undang Ite Dalam

Penanganan Berbagai Bentuk Kejahatan Dunia Maya

Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi di era kontemporer telah

melahirkan media baru, yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial, ekonomi, dan

budaya yang cukup besar. Kemudahan akses terhadap teknologi memudahkan terjadinya

inovasi dalam komunikasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas, sehingga terjadi

pergeseran yang efisien dalam proses pemanfaatan teknologi melalui aplikasi seluler, layanan

internet, dan gawai pintar lainnya. Pada dasarnya, perkembangan teknologi ini memberikan

jaminan kemudahan bagi setiap penggunanya, serta memungkinkan pekerjaan menjadi lebih

efektif dan efisien, namun di tengah pesatnya pertumbuhan teknologi ini, juga menimbulkan

tantangan dari segi keamanan, privasi, dan dampak sosial yang timbul akibat perkembangan

teknologi yang terjadi, sehingga dalam hal ini, pengelolaan suatu kebijakan merupakan hal

penting yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan

dengan batasan kebijakan hukum tersebut, perlu adanya kompromi antara menjaga privasi

individu dan keamanan data serta memfasilitasi inovasi teknis, yang juga diperlukan untuk

mengakomodasi perubahan kemajuan teknologi dengan tetap menjaga keamanan dan privasi.

Berbagai hambatan terhadap kejahatan yang sering ditemukan di komputer atau media, serta

kemajuan teknologi, seperti cyberbullying, pelanggaran data, dan peretasan, menunjukkan

kurangnya keamanan dalam pertumbuhan teknologi modern. Untuk mengatasi kendala

kebijakan hukum telematika, banyak tinjauan mungkin diperlukan, serta keterlibatan

pemerintah dalam mendukung perubahan peraturan yang sering terjadi untuk meningkatkan

dinamika teknologi.

Keterlibatan pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan, termasuk industri

dan masyarakat sipil, dapat membantu mencapai keseimbangan yang dibutuhkan dalam

pertumbuhan teknologi yang semakin cepat. Teori Marc Ancel menyajikan pemahaman tentang

kebijakan hukum sebagai ilmu dan seni yang bertujuan untuk meningkatkan perumusan aturan

hukum yang baik. Pembatasan hukum positif dipandang sebagai peraturan hukum pidana.

Menurut Ancel, kata kebijakan penal identik dengan “kebijakan atau politik hukum pidana”

(Barda Nawawi Arief, 1996:2). Jawaban berikutnya menuntut strategi proaktif untuk

menanggapi tren telematika baru. Tim pemantauan dan penilaian dapat terus memantau dan

membantu pemerintah dalam mendeteksi perubahan dalam terobosan teknis dan persyaratan

peraturan. Onno W. Purbo mencatat bahwa pendekatan untuk melacak, mendeteksi, dan

mencegah kejahatan ini sangat bergantung pada aplikasi dan arsitektur jaringan yang

digunakan. Lebih jauh, strategi inklusif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, sektor

korporasi, dan masyarakat sipil dapat membantu dalam pengembangan kebijakan yang

komprehensif dan berhasil. Pendidikan dan pengetahuan publik tentang konsekuensi hukum

telematika juga penting untuk mendorong keterlibatan aktif dan pemahaman yang lebih besar

di masyarakat.

Solusi atas hambatan hukum dalam menangani kejahatan dunia maya, seperti

perundungan siber, dapat dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, pemutakhiran atau

revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Revolusi dan konvergensi teknologi

informasi harus dibahas dalam kerangka teori hukum, peraturan perundang-undangan, dan

regulasi agar tujuan masyarakat informasi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dapat

tercapai. Buku ini diawali dengan pemahaman historis rezim hukum dunia maya di Indonesia,

khususnya quo vadis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE 2008), perspektif legislasi teknologi dan keadilan sosial, urgensi revisi UU

ITE 2008, dan pilar-pilar norma hukum dunia maya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang perubahan atas UU ITE 2008, serta pembahasan teknolegislasi dalam rangka

memperjelas dan memperkuat definisi dan sanksi tindak pidana perundungan siber. Kedua,

tingkatkan penegakan hukum dengan melibatkan polisi dalam kasus perundungan siber. Hal

ini dapat mencakup peningkatan kemampuan penyidik untuk memeriksa insiden di dunia

maya, serta kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan platform daring. Upaya pencegahan

lebih lanjut, seperti kampanye penjangkauan dan edukasi tentang dampak buruk perundungan

siber dan cara melaporkan kejadian ini, dapat membantu menghindari kejahatan yang

disebabkan oleh kemajuan teknologi yang pesat. Peningkatan kesadaran publik dapat

membantu meminimalkan insiden perundungan siber dan mendorong kolaborasi antara sektor

komersial (platform media sosial dan penyedia layanan daring) dan pemerintah dalam

mendeteksi dan bereaksi terhadap situasi perundungan siber. Hal ini dapat mencakup

penerapan kebijakan dan metode pelaporan yang tepat. Dan membangun saluran alternatif

untuk penyelesaian sengketa daring, sehingga korban dapat memperoleh bantuan hukum dan

menyelesaikan masalah tanpa melalui prosedur hukum yang panjang.

Daftar Pustaka

Arief, B. N. (2005). Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. PT.

Citra Aditya Bakti.

Kiswanto, Muslim Heri, (2009). Cyber crime dan Transaksi Elektronik dalam UU No. 11 Tahun

2008 tentang ITE, Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/24106593/Smtr-Sejarah-

Hukum

Latumahina, R. E. (2014). Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia Maya. Jurnal

GEMAAKTUALITA,3(2).14-25.

http://dspace.uphsurabaya.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/92.

Utin Indah Permata Sari. (2022). Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Upaya Penanganan

Cyber Crime Yang Dilakukan Oleh Virtual Police Di Indonesia. Jurnal Studia Legalia,

2(01), 58–77. https://doi.org/10.61084/jsl.v2i01.7

R.A Igel Ardh (41033300221128)

Muhammad Roby Alviansyah (41033300221089)

Universitas Islam Nusantara

Email: Igelardh5@gmail.com

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *