Carut Marutnya SPMB 2025 di Kota Cimahi,Sebuah Indikasi Dinas Pendidikan Kota Cimahi Gagal Dalam SPMB
Cimahi,Kamis(06/07/2025)
Ketua Umum Ormas COBRA Commando Baros Ranger) Deddy Supriadi mengkritik mekanisme anyar, dalam pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025.Menurut dia, sistem pengganti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ini tidak ada bedanya dengan sistem sebelumnya yang sarat akan masalah, malah terkesan lebih banyak masalah yang timbul.
“Buktinya, SPMB 2025 kembali diwarnai oleh protes dan kecurangan, karena banyak pihak merasa bahwa sistemnya masih belum berkeadilan untuk semua,” ujar Deddy melalui keterangan tertulis pada beberapa waktu yang lalu.
Kemudian Ketua Umum Commando Baris Ranger(Cobra), Deddy menambahkan,
“Ada laporan Pengaduan dan temuan tentang SPMB tingkat SMP di Kota Cimahi, diantaranya Atas nama seseorang jam 11.30 diketahui dalam pengumuman dinyatakan tidak diterima disalah satu SMP, namun selang beberapa jam tepatnya sore hari, Klik lagi Website dan dalam pengumuman tersebut dinyatakan Lulus dan diterima , padahal nama Siswi dan tujuan sekolah sama diduga ada Oknum Dinas yang memainkan dan merubah data, bukti dokumen kami simpan. Dan masih ada 3 kasus lagi yang kami simpan atas dasar aduan masyarakat, dan ada yang sebaliknya,”Tambahnya
Deddy mengatakan setidaknya ada tiga masalah sistemik yang menyebabkan permasalahan lama terus terjadi hingga hari ini. Pertama, sistem baru ala Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah Abdul Mu’ti ini masih terjebak mengurusi soal perebutan kursi di sekolah negeri.
Deddy menyebut hal itu terjadi karena pemerintah lebih fokus mengurusi seleksi murid yang akan menduduki sekolah negeri, alih-alih memperhatikan jalan keluar untuk murid-murid yang tidak akan tertampung karena keterbatasan kuota.
Deddy memberikan perumpamaan rebutan kursi ini seperti kapasitas penumpang dalam muatan bus. “Kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus saja?,Padahal penumpang yang tidak tertampung jauh lebih banyak” ungkapya.
Dalam konteks ini, masalah paling besar umumnya terjadi di jenjang SMP/SLP. Sebabnya, rata-rata daya tampung SMP/SLP Negeri di berbagai Kota hanya 50 persen, sementara 50 persen sisanya terpaksa harus terpental ke sekolah swasta.
Perebutan sengit inilah yang membuat kasus jual beli kursi atau okmun yang bermain akan terus terjadi. “Ini mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual,” katanya. Jika tidak dibenahi, kondisi ini berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMP dan rendahnya angka partisipasi sekolah.
Masalah sistemik kedua, Ketua Uum COBRA menilai Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 masih sangat membingungkan, terutama terkait dengan penerapan jalur penerimaan. Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMP, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah. Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata malah mengukur jarak.
Sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia. “Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua,” kata Deddy berkeluh kesah.
Terakhir, Ketua Umum Cobra menyoroti ketidakpatuhan pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. Menurut Deddy , SPMB 2025 semestinya mengatur skema pembiayaan full gratis bagi calon murid yang masuk ke sekolah swasta karena terpental dari sekolah negeri.
Sayangnya,aturan SPMB 2025 tidak tegas mewajibkan pemerintah daerah untuk membiayai anak-anak di sekolah swasta. Adapun dalam Pasal 5 Peraturan Menteri itu Kementerian hanya menyinggung bahwa pemerintah daerah boleh memberikan bantuan pendidikan.” katanya.
Lantas Deddy mengakhiri keterangannya,
“Hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan,” pungkasnya.
Achmad Syafei